Minggu, 10 Maret 2013

Penalaran Deduktif



Pengertian Penalaran Deduktif
Penalaran deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Faktor – faktor penalaran deduktif :
1.    Pembentukan Teori
2.     Hipotesis
3.    Definisi Operasional
4.    Instrumen
5.    Operasionalisasi
Macam – macam penalaran Deduktif :
1.    Silogisme
Silogisme merupakan suatu cara penalaran yang formal. Penalaran dalam bentuk ini jarang ditemukan/dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lebih sering mengikuti polanya saja, meskipun kadang-kadang secara tidak sadar. Misalnya ucapan “Ia dihukum karena melanggar peraturan “X”, sebenarnya dapat  kita kembalikan ke dalam bentuk formal berikut:
a. Barang siapa melanggar peraturan “X” harus dihukum.
b. Ia melanggar peraturan “X”
c. la harus dihukum.
Bentuk seperti itulah yang disebut silogisme. Kalimat pertama (premis ma-yor) dan kalimat kedua (premis minor) merupakan pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan (kalimat ketiga).
Pada contoh, kita lihat bahwa ungkapan “melanggar …” pada premis (mayor) diulangi dalam (premis minor). Demikian pula ungkapan “harus dihukum” di dalam kesimpulan. Hal itu terjadi pada bentuk silogisme yang standar.
Akan tetapi, kerap kali terjadi bahwa silogisme itu tidak mengikuti bentuk standar seperti itu.
Misalnya:
- Semua yang dihukum itu karena melanggar peraturan
- Kita selalu mematuhi peraturan
- Kita tidak perlu cemas bahwa kita akan dihukum.
Pernyataan itu dapat dikembalikan menjadi:
a. Semua yang melanggar peraturan harus dihukum
b. Kita tidak pernah melanggar (selalu mematuhi) peraturan
c. Kita tidak dihukum.
Secara singkat silogisme dapat dituliskan
JikaA=B dan B=C maka A=C
Silogisme terdiri dari ; Silogisme Katagorik, Silogisme Hipotetik dan Silogisme Disyungtif.
2.    Entimem
Di atas telah disinggung bahwa silogisme jarang sekali ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam tulisan pun, bentuk itu hampir tidak pernah digunakan. Bentuk yang biasa ditemukan dan dipakai ialah bentuk entimem. Entimem ini pada dasarnya adalah silogisme. Tetapi, di dalam entimem salah satu premisnya dihilangkan/tidak diucapkan karena sudah sama-sama diketahui.
Contoh:
Menipu adalah dosa karena merugikan orang lain.
Kalimat di atas dapat dipenggal menjadi dua:
a. menipu adalah dosa
b. karena (menipu) merugikan orang lain.
Kalimat a merupakan kesimpulan sedangkan kalimat b adalah premis minor
(karena bersifat khusus). Maka silogisme dapat disusun:
Mn       : menipu merugikan orang lain
K          :menipu adalah dosa.
Dalam kalimat di atas, premis yang dihilangkan adalah premis mayor. Untuk melengkapinya kita harus ingat bahwa premis mayor selalu bersifat lebih umum, jadi tidak mungkin subjeknva “menipu”. Kita dapat menalar kembali dan menemukan premis mayornya: Perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa. Untuk mengubah entimem menjadi silogisme, mula-mula kita cari dulu ke- simpulannya. Kata-kata yang menandakan kesimpulan ialah kata-kata seperti jadi,
maka, karena itu, dengan demikian, dan sebagainya. Kalau sudah, kita temukan apa premis yang dihilangkan.
Contoh lain:
Pada malam hari tidak ada matahari, jadi tidak mungkin terjadi proses fotosintesis.
Bagaimana bentuk silogismenya?
My        : Proses fotosintesis memerlukan sinar matahari
Mn        : Pada malam hari tidak ada matahari
K            : Pada malam hari tidak mungkin ada fotosintesis.
Sebaiknya, kita juga dapat mengubah silogisme ke dalam entimem, yaitu
dengan menghilangkan salah satu premisnya.
Contoh:
My       : Anak-anak yang berumur di atas sebelas tahun telah mampu berpikirformal.
Mn       : Siswa kelas VI di Indonesia telah berumur lebih dari sebelas tahun
K           : Siswa kelas VI di Indonesia telah mampu berfikir formal
Kalau dihilangkan premis mayornya entimemnya akan berbunyi “siswa kelas VI di Indonesia telah berumur lebih dari sebelas tahun, jadi mereka mampu berpikir formal”. Atau dapat juga “Anak-anak kelas VI di Indonesia telah mampu berpikir formal karena mereka telah berumur lebih dari sebelas tahun”. Kalau dihilangkan premis minornya menjadi “Anak-anak yang berumur di atas sebelas tahun telah mampu berpikir formal; karena itu siswa kelas VI telah mampu berpikir formal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar